Senin, 12 April 2010

perjanjian indonesia didaerah perbatasan

Awal tahun 2010 ini merupakan momentum yang strategis bagi pemerintahan Presiden SBY, dalam rangka membangun seluruh wilayah Indonesia, termasuk daerah perbatasan.

Daerah perbatasan merupakan pintu gerbang masuk wilayah Indonesia, maka dari itu pemberdayaan saerah perbatasan menjadi penting dan strategis dalam rangka mensejahterakan rakyat.

Selama ini, daerah perbatasan sering kali dijuluki sebagai "beranda terdepan bangsa". Namun, dalam kenyataannya sering kali tidak terurus, ibarat tempat kumuh. Bahkan di daerah perbatasan dapat menjadi sumber konflik antar negara tetangga. Seperti beberapa kasus perbatasan dengan Malaysia.

Hubungan Indonesia - Malaysia sebelum menganut konsep negara modern, pasca perjanjian Westphalia 1648, keduanya belum mengenal batas-batas fisik dan budaya.

Masalah mulai muncul setelah Indonesia merdeka, 17 Agustus 1945, dan Malaysia, 31 Agustus 1957. Pergesekan Indonesia-Malaysia boleh dikatakan merupakan yang terpanas jika dibandingkan dengan masalah perbatasan dengan negara lain di pinggiran Indonesia.

Yang paling riuh dan banyak dipersoalkan ialah terkait tenaga kerja Indonesia (TKI) dan perbatasan fisik di Pulau Ambalat. Fakta lapangan tidak sesederhana itu, tetapi amat kompleks.

Pengertian perbatasan selama ini lebih banyak dipahami dalam konteks fisik. Sejak kasus Pulau Sipadan dan Ligitan, yang oleh Mahkamah Internasional dimenangkan Malaysia pada tahun 2002, masalah perbatasan fisik terus meningkat, kini Malaysia malah berusaha merampas Ambalat.

Ketika Indonesia terus berusaha memperkuat pengamanan perbatasan fisik, batas kultural yang tidak pernah terpikir untuk dibentengi pun diusik.

Terakhir kita tersentak oleh isu ”klaim” Malaysia soal tarian pendet, reog, batik dan lagu rasa sanyange dalam sebuah iklan pariwisatanya. Meskipun Menlu Malaysia Anifah Aman membantah pernah ada klaim itu.

Fakta yang sangat memprihatinkan di wilayah perbatasan Indonesia seperti di Pulau Sebatiuk dan wilayah Nunukan. Pulau Sebatik, pulau yang secara administratif terbagi atas wilayah Malaysia dan Indonesia. Khusus di Sebatik Barat, bagian dari wilayah Indonesia, warganya kecewa karena listrik yang dibangun negara sejak tahun 1991 belum juga beroperasi.

Warga di wilayah Nunukan lebih banyak berorientasi ke Malaysia. Seluruh hasil pertanian mereka, baik itu hasil bumi maupun hasil laut, dan produk industri rumah tangga dijual ke Tawau. Barang-barang mereka ditawar dengan harga murah.

Persoalan pengamanan wilayah fisik pun sangat sensitif. Sejak Pulau Sipadan dan Ligitan lepas dari Indonesia ke tangan Malaysia, kini Pulau Ambalat pun terancam. Bahkan, mungkin, ancaman itu bisa semakin kuat karena fasilitas keamanan untuk kegiatan operasional di perbatasan sangat minim.

Jajaran Pangkalan Laut dan Angkatan Udara di Tarakan mengatakan, panjang landasan berkaitan erat dengan kemampuan operasional alutsista, khususnya pesawat patroli atau tempur. Artinya, jika landasannya kecil, pesawat canggih yang lebih besar pun sulit mendarat.

Alat komunikasi di perbatasan pun terbatas. Dari tiga pos keamanan di Sebatik, misalnya, hanya pos paling depan yang memiliki radio komunikasi. Dua pos lain di belakangnya tanpa sarana komunikasi.

Jaringan telekomunikasi dan penyiaran publik milik pemerintah minim. Infrastruktur lembaga penyiaran publik, misalnya, yang diharapkan sebagai corong pemerintah, seperti RRI dan TVRI, baru menyentuh kota kabupaten. Warga perbatasan lebih banyak menerima siaran radio dan televisi Malaysia.

Selain masalah-masalah tersebut diatas, sebenarnya masih banyak lagi masalah yang belum diungkap, seperti illegal fishing, perompakan, terorisme, dan pencurian hasil hutan.

Bentuk-bentuk kehadiran negara, seperti penyediaan sarana dan prasana listrik, telekomunikasi, air bersih, koperasi unit desa, jaringan transportasi, jaringan informasi, terutama penyiaran, jauh dari memadai. Tidak heran jika orientasi politik, ekonomi, sosial, dan budaya warga lebih banyak ke Malaysia.

Pemerintah harus mengubah orientasi pembangunan perbatasan dari pendekatan ekonomi ke pendekatan national interest. Utamakan kepentingan nasional mempertahankan kedaulatan dan martabat bangsa, ketimbang kepentingan kapitalistik.

Kita semua berharap semoga semua pihak terkait, termasuk pemerintah di tahun 2010 ini segera memberdayakan wilayah perbatasan dalam kerangka keutuhan NKRI.

Tidak ada komentar:

peninjau

Arsip Blog

Mengenai Saya

Foto saya
saya orangnya baik hati,tidak sombong tapi kadang bores sama uang tapi kalau ada perlunya,saya orangnya emosian,saya tidak gampang tersinggung,saya gampang bergaul kepada siapa saja tidak mandang ras,warna kulit,saya orangnya setia pada kawan,tidak mau macem-macem apa lagi dengan narkoba